Teater
April 26, 2015
Pengantar
Bertukar Tangkap dengan Lepas
Garasi tampaknya adalah kelompok teater kontemporer Indonesia yang paling kuat memancarkan kesadaran dinamis tentang waktu dan ruang, tentang keniscayaan untuk ikut membentuk watak waktu dan ruang itu dengan berbagai konsekuensinya. Pertunjukan-pertunjukan mereka, dihiasi judul antara lain Waktu Batu#1 (2001), Waktu Batu#2 (2003), Waktu Batu#3 (2004), Repertoar Hujan (2000, 2005), Je.ja.l.an (2008), Tubuh Ketiga (2010), dan Goyang Penasaran (2011). Judul-judul yang merekah begini, tentu bisa ditelusuri akarnya pada kesadaran dinamis atas waktu dan ruang, dengan aneka pengaruhnya pada tubuh dan kesadaran, pada pemahaman tentang diri dan orang lain.
Kesadaran dinamis itu tampaknya merasuk cukup dalam, dan Garasi tak memancarkannya berkelap-kelip hanya di atas panggung, tapi terus membawanya menyemburat, meski mungkin tak menyilaukan, sampai cukup jauh di luar pentas. Kesadaran itu tentu bekerja di balik upaya memungut dan merawat berbagai hal yang mungkin hanyut terseret arus waktu. Meyambut hari lahir mereka yang bermula sebagai suatu lembaga mahasiswa di kampus Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Gadjah Mada, awak Garasi memilih dan menerbitkan sekumpulan foto kegiatan mereka yang terentang dua dekade. Mereka juga menerbitkan buku yang menghimpun tulisan dari berbagai kalangan, bukan sekedar potongan berita atau ulasan yang pernah muncul di media cetak.
Humaniora
April 19, 2010
Pengantar
“Menjadi Bangsa Terdidik”
Soedjatmoko
Membaca kembali berbagai karangan Soedjatmoko adalah mengalami lagi terpaan arus semangat yang dengan perlahan sanggup membawa kita meniti cakrawala merengkuh soal-soal besar dan luhur berupa pembebasan manusia dan hari depan dunia.
Dari anyaman prosanya yang berpilin menjelujur serba merangkum dan tak selalu literer itu, terasa hadirnya cakupan kepedulian yang berevolusi dan bisa menyeret pembacanya mengukuhkan kembali rasa terpaut pada sebuah bangsa dengan berbagai masalah yang merundungnya, dan meresapkan lagi persamaan fundamental antar ummat manusia yang kian saling terkait di tataran global.
Sastra
August 30, 2009
“Surga Kecil” Jokpin
Di sepanjang jaman, puisi adalah salah satu di antara barang yang tak pernah surut produksinya, paling tidak di Indonesia. Di era krisis, pasokan puisi bukannya ikut kendur, tapi malah kian kencang. Yang pasti, redaktur rubrik puisi di media cetak, setidaknya di Bentara KOMPAS, selalu kewalahan menerima kiriman sajak yang melimpah ruah. Kendati nyaris semua penduduk negeri ini sepertinya bisa membuat puisi (cukup dengan modal terharu doang), namun puisi yang benar-benar bisa meninggalkan torehan yang dalam, parut yang tak gampang hilang, adalah barang yang sungguh langka ditemui.
Memoar
May 10, 2009
Kisah “Besar” Keluarga Toer
Sebagai karangan yang banyak bertumpu pada ingatan, memoar adalah ragam karya yang bergerak di antara dua kutub: sejarah dan sastra. Jika ingatan itu ditopang sekaligus dijaga ketat oleh catatan kejadian nyata, disusun mengikuti arus waktu yang bergerak kronologis, karangan itu akan menjadi (auto)-biografi penting. Jika ingatan tak harus tunduk sepenuhnya pada catatan ketat peristiwa sejarah, dan narasi disusun tak harus mengikuti alur waktu yang lurus, tak jarang bahkan membiarkan diri terseret oleh arus kesadaran yang berkelak-kelok, karangan itu bisa menjadi novel besar.
Seni Rupa
April 27, 2009
Anemon Baja
Tahun lalu, seusai pembukaan pameran tunggalnya bertajuk NEO Painting di Galeri Koong, Teguh Ostenrik (TO) memberi saya selembar poster berisi foto patung mutakhirnya. Karya yang disusun dari rongsokan logam itu diberinya judul “Give Me a Big Hug” (88 x 153 x 145 cm3). Dengan 11 tentakel baja yang menjulur-julur ke angkasa, patung logam itu, buat saya, cukup kuat menyarankan harapan yang menggapai. Terpacak di tanah dengan landasan yang pejal, dengan bongkahan logam besar yang hatinya bolong seakan meleleh jadi juluran tentakel, karya ini memang bisa terasa seperti kerinduan bumi pada langit. Itu juga bisa berarti kerinduan tanah pada air, kerinduan manusia pada sesama manusia dan juga pada yang bukan manusia.
Sastra
February 18, 2009
Cala Ibi dan Neokolonialisme (?)
Note Katrin Bandel menyetujui pandangan saya bahwa “Pujangga Baru” dan “TUK” tidak sepenuhnya bisa dibandingkan. Perbedaan dasarnya, bagi Katrin, berkaitan dengan posisi dan konteks zaman masing-masing.
Buat saya, ada problem lain yang juga tak bisa diabaikan, yakni problem over-generalisasi. Generalisasi memang diperlukan tapi hanya sampai batas tertentu. Jika batas ini tak disadari lalu dilanggar terus, over-generalisasi yang terjadi bisa lebih buruk ketimbang sekedar memiskinkan. Over-generalisasi ini yang ikut membuat jutaan orang hidupnya sengsara sejak 1965.
Seni Rupa
December 10, 2008
Ugo di Mata Omi
Omi Intan Naomi jelas penulis yang berbakat: ia tahu di mana koma diletakkan, kapan titik dibubuhkan. Ketukan yang tepat dan irama yang mengalir, terasa kuat dalam tulisan-tulisannya. Bakat menonjol ini terekam di buku The Sound of Silence and Colors of the Wind Between the Tip of a Cigarette and Fire of the Lighter [17 Years of Ugo Untoro’s Fine Arts, 1989-2006].
Seni Rupa
September 27, 2008
Bocah
Lembaran uang — firdaus dunia? — dan terutama sosok kanak-kanak — firdaus yang hilang? — mengisi banyak kanvas Yuswantoro Adi, pelukis yang mencuat dengan rentetan karya yang bergaya sangat figuratif.
Kesuntukan Yuswantoro pada sosok kanak-kanak itu agaknya mirip dengan kerja Charles Monroe Schulz yang tenar dengan komik strip Peanuts and Charlie Brown, Bahman Ghobadi yang menghasilkan film Turtles Can Fly dan A Time for Drunken Horses, atau Gunter Grass yang menelurkan novel penting The Tin Drum. Jika pandangan mata dan dunia kanak-kanak yang digarap Schulz mempertajam kepekaan kita pada hal-hal sepele yang membuat kita jadi manusia, Ghobadi dan Grass dengan kuat menyentak kita menerima hal-hal besar yang tak jarang hendak dilupakan dan dianggap sepele karena kehadirannya yang terang benderang akan terlalu mengguncang kemanusiaan kita. Kanak-kanak memang bisa menggelitik, bisa sungguh tak terduga memecah selubung kenyataan sekaligus menautkan hal-hal yang tampak cerai berai, dan dengan itu menyodorkan momen epistemik lewat cara yang subversif.
Seni Rupa
September 27, 2008
Cangkang
Tubuh dan “pembungkusnya” — terutama “pembungkusnya”— adalah pokok terpenting karya Mella Jaarsma.
Jika di satu kutub adalah kelomang payau yang nyaris segenap denyut jantungnya dihabiskan di bawah sungkup cangkangnya, dan di kutub lain adalah pertapa ugahari yang khusyuk merenungi segenap mineralisasi buah akal budi manusia, maka seluruh karya Jaarsma kurang lebih terletak di antara dua kutub itu. Kemungkinan penjelajahan yang terbentang di antara dua kutub ini, memang nyaris tak terhingga, dan artis kelahiran Belanda yang menetap di Yogya ini dengan setia menelusurinya.
Film
September 22, 2008
Aborsi Kultural
Perempuan tampaknya memang punya sensibilitas tertentu yang nyaris mustahil dimiliki pria. Terutama jika berkaitan dengan kehidupan manusia yang tersisih, khususnya ketersisihan perempuan, kanak-kanak dan kaum lanjut usia. Marziyeh Meshkini, perempuan asal Iran yang menjadi sutradara, menegaskan hal ini, dengan sangat bagus, dalam film The Day I Became a Woman.
Film yang dirilis pada 2001 ini berisi tiga cerita yang tampak saling lepas, tetapi disatukan oleh jenis kelamin tokoh-tokoh utama dan tempat berlangsungnya kisah. Cerita pertama berpusar pada Hava, gadis kecil yang namanya mengingatkan orang pada sosok yang dianggap sebagai ibu semua manusia, dan pada kata eve yang berarti fajar. Dalam waktu satu setengah jam, Hava akan memasuki usia sembilan. Di banyak tempat di Iran, usia sembilan adalah usia di mana seorang gadis kecil menjadi perempuan. Dan menjadi perempuan berarti memperoleh sejumlah kewajiban-kewajiban baru sekaligus kehilangan banyak hal-hal berharga. Begitu berharganya hal-hal itu — setidaknya bagi Hava — ia merengek dan ngotot memanfaatkan waktunya yang tersisa sebagai kanak-kanak, waktu 90 menit yang terus menipis itu, untuk mengalami lagi hal-hal berharga itu terakhir kalinya. Adapun hal-hal yang berharga itu, tak lain adalah main di jalanan bersama anak laki-laki, sambil dengan sangat asyik dan hangat berbagi permen dan asinan.