Fiksi Tanggung
September 21, 2009
Labirin Berujung Tunggal
Kelak ketika ia sepenuhnya sadar, bahwa nanti akan lahir seorang manusia dari tubuhnya, ia tercekam lagi oleh sebuah rasa longsor yang menggigilkan, yang diperparah oleh penalaran dan dibikin kekal oleh ingatan.
Terakhir kali rasa longsor itu menyeretnya, adalah saat ia melalui puncak dari percintaannya yang sudah berlangsung bertahun-tahun dengan hujan; hujan yang dengan lembut mengunjungi senja dan mengubahnya dari merah lembayung menjadi kelabu, dan akhirnya melulur batas antara langit dan bumi. Gerimis yang gugur bersama angin yang mendengkur, adalah ketulusan langit pada hijau daratan dan biru lautan. Ia ingat rasa sakit itu bermula sebagai rasa cinta diam-diam, dan tumbuh dengan kerinduan langit yang memeluk seluruh bintang; rasa sakit yang konon mencintai mereka yang banyak tidur dan bermimpi.
Fotografi
September 25, 2008
Susan Sontag, dll.:
Citra─Waktu
Jika seni rupa adalah adalah sastra, dan lukisan adalah puisi, maka fotografi adalah bahasa. Antara lain karena kemampuannya yang tanpa preseden dalam mengabadikan dan menggandakan semua citra, bukan hanya yang bisa langsung dicerap, fotografi memang tak lagi menjadi sekedar sebuah bentuk seni; ia lebih luas dari seni. “Fotografi adalah medium yang dengannya seni diciptakan.” Susan Sontag menggaritkan kalimat ini di buku On Photography (1977).[1] Pendapat yang menandaskan bahwa fotografi—dan tentu saja sinema—adalah bahasa, sudah muncul, misalnya, pada Andre Bazin.[2] Dengan memumpunkan perhatian pada fotografi dan menangguhkan pertautannya dengan sinema, pendirian itu diperkokoh dan digarap Sontag lebih lanjut. Di OP, kitab tipis yang menjadi salah satu “karya terpenting tentang fotografi”,[3] Sontag bahkan menyebut fotografi sebagai sebuah meta-seni: sebuah medium sekaligus cita-cita tertinggi seni. Di abad ke-19, Walter Pater menyebut bahwa semua seni bercita-cita menjadi seperti musik yang mampu melebur habis bentuk dan isi. Sontag, di abad ke-20, mengoreksi pendapat Pater dan menandaskan betapa semua seni justeru bercita-cita untuk menjadi seperti fotografi. Selain sanggup hidup seperti musik yang mengolah mediumnya sebagai isi itu sendiri, fotografi juga berwatak demokratis karena bisa dikerjakan oleh siapapun—serempak mengeram kekuatan revolusioner mendobrak diskriminasi antara seni buruk dan seni indah.
Epistemologi
September 24, 2008
Waktu Imajiner,
Ruang Berdimensi 11, dll.
Tentang Pengetahuan-yang-fictive & Keyataan-yang-fictious
“Ilmuwan yang berkutat dengan teori bukanlah orang yang patut jadi sumber iri. Karena alam … sungguh tak ramah padanya dan sering sinis atas karya-karyanya. Alam tak pernah bilang ‘Ya’ untuk sebuah teori. Paling banter ia berkata ‘Mungkin’, dan yang paling sering adalah menjawab ‘Tidak’.”
— Albert Einstein
Alam yang tak bisa dipahami, betapun mentah pemahaman itu, sungguh bukan alam yang bisa dihidupi. Lebih tua dari jaman yang telah hilang dari ingatan ummat manusia, hukum itu bahkan sudah mengatur evolusi dan kelangsungan makhluk hidup dalam interaksinya dengan alam yang sukar dan berubah tak menentu. Manusia pertama yang merenung, pasti tahu bahwa bahkan dalam keadaannya yang paling damai dan jinak pun, alam yang dahsyat membentangkan diri dengan banyak gejala dan watak yang amat rumit. Informasi pertama bagi pengalaman manusia sungguh berada dalam keadaan yang begitu kompleks, bahkan kacau-balau.
Epistemologi
September 23, 2008
Mencari Agama Merengkuh Sains
Hampir 100 tahun yang silam, tepatnya 30 Juni 1905, Albert Einstein menyerahkan draft paper, bukan sebuah buku tebal, yang ia kerjakan di waktu senggang. Kepada penerbitnya, Einstein bercanda semoga draft itu layak diumumkan, jika pun memang ada ruang yang sisa. Paper berkepala Zur Elektrodynamik Bewegter Körper (Tentang Elekrodinamika Benda-benda Bergerak) itu muncul di jurnal Annalen der Physik 17:891, 1905. Isinya terutama adalah reaksi terhadap eksperimen Michelson-Morley yang menguji keberadaan “luminiferous ether” sebagai medium penjalaran cahaya, sekaligus perluasan ide transformasi Lorentz dan teori gelombang elektromagnetik Maxwell. Di sana disimpulkan bahwa ether tak perlu ada, dan bahwa kecepatan cahaya selalu sama, tak peduli sumber cahaya atau si pengamat bergerak saling menjauh atau mendekat. Ringkasnya, paper itu berisi pemikiran yang meleceh akal sehat: pandangan tentang ruang waktu nisbi yang mendobrak persepsi ruang-waktu mutlak Newtonian yang sudah berkuasa lebih dari 3 abad.
Ketika Einstein menyerahkan paper itu, ia hanyalah seorang pegawai culun di kantor paten Swiss. Ia bukan seorang professor dengan riwayat akademik yang mengesankan, dengan setumpuk buku tebal yang terbit mencantumkan namanya. Dan meski paper itu secara sempurna menghina akal sehat, menampik pandangan ruang-waktu yang tengah berkuasa, tak ada berita tentang kelompok ilmuwan yang merasa tersinggung oleh paper itu. Kita pun tak mendengar bahwa forum ilmuwan Jerman, Perancis dan Inggeris, bersama pimpinan sejumlah ormas, partai politik dan universitas paling berpengaruh di Eropa, bersatu lalu mengeluarkan fatwa hukuman mati. Tak ada catatan adanya kehebohan yang membuat mertua Einstein atau profesor pembimbing disertasinya, menegur Einstein dan mencoba memperbaiki sikap keilmuwannya. Juga tak ada keluhan mengapa Einstein menerbitkan papernya di jurnal berbahasa Jerman, mengapa bukan di jurnal berbahasa Inggeris: bukankah paper itu merongrong persepsi ruang waktu Newton yang Inggeris itu?
Budaya
September 23, 2008
“Autopoiesis” Takdir
Sutan Takdir Alisjahbana menarik karena segugus paham yang diperjuangkannya. Paham-paham tersebut menjadi memikat bukan hanya karena bergetar dalam diri STA, tetapi karena paham-paham tersebut ternyata sungguh punya dasar yang kukuh dan jangkauan yang jauh. Yang paling berharga dari pemikiran STA tampaknya adalah prinsip autopoiesis, penciptaan dan pelampauan diri entitas, yang diterapkan pada skala yang luas. Prinsip inilah agaknya yang tak ditangkap oleh para pengritik STA, termasuk Nirwan Dewanto (dalam pidatonya yang diliput banyak media besar di Kongres Kebudayaan 1991).
.
20 tahun yang silam Ignas Kleden dalam esai bertajuk ”S.T. Alisjahbana: Sebuah Perhitungan Budaya” telah menyatakan, ”Meringkaskan pribadi, pemikiran dan kegiatan S.T. Alisjahbana dalam beberapa halaman esei merupakan suatu proyek yang mustahil.” Meski demikian, pengantar Ignas untuk perkenalan dengan pemikiran STA itu cukup bagus meringkas paham-paham STA, merumuskan dengan tajam pendirian dan keyakinan filosofisnya. Dalam rumusan Ignas, ”dulu maupun sekarang S.T. Alisjahbana mempertahankan dan tetap hidup dari pendirian dan keyakinan filosofis yang sama: dalam pandangan dunia; idealistis (dalam artian Phaenomenologie des Geistes-nya Hegel), dalam pandangan sejarahnya telelologis (sejarah bergerak menuju ke sesuatu yang pasti), dalam etiknya: normatif, dalam paham keseniannya: heteronom (seni bukanlah dunia yang otonom melainkan tergantung pada tujuan pengabdiannya).”
Kognisi
September 19, 2008
Kehidupan Kedua
Tentang Nalar dan Horizonnya
Few of them made it into thirty.
Old age was the previlege of rocks and trees.
One had to hurry, to get on with life
before the sun went down
before the first snow
Thirteen-year-olds bearing children,
four-year-olds stalking birds’ nests in the rushes,
leading the hunt at twenty—
they aren’t yet, then they are gone.
Infinity’s ends fused quickly.
Witches chewed charms
with all the teeth of youth intact.
A son grew to manhood beneath his father’s eye.
Beneath the grandfather’s blank sockets the grandson was born.
…
Life, however long, will always be short.
Too short for anything to be added.
— Wislawa Szymborska
Our Ancestor’s Short Lives
Transhumanisme
September 19, 2008
Semesta Manusia
Setiap perjumpaan sejati dengan ilmu dan teknologi, selalu saja berarti perjumpaan dengan revolusi. Dalam sejarah sastra Indonesia, sangat sedikit penulis yang cukup bagus membabar dramatik perjumpaan itu, dan akibat-akibatnya bagi kelahiran sebuah kesadaran baru, sebuah era yang tak terbayangkan sebelumnya. Di antara yang segelintir itu, adalah Pramoedya Ananta Toer. Di lembar awal tetralogi Roman Pulau Buru, sastrawan-setengah-padas itu menghadirkan pengakuan Minke betapa, “Dalam hidupku, baru seumur jagung, sudah dapat kurasai: ilmu pengetahuan telah memberikan padaku suatu restu yang tiada terhingga indahnya ” (Bumi Manusia, hal.2)
Dengan ilmu yang didapat dari sekolah dan ia saksikan sendiri pernyataannya dalam hidup, Minke mengalami persentuhan yang membikin pribadinya jadi lain dari kaum sebangsanya. Dari pencapaian-pencapaian besar nalar yang datang dari Eropa itu, Minke menyerap satu kata ajaib; satu kata yang menggelumbang dan membiak diri seperti bakteria; satu kata yang tak saja mengubah cakrawala dan jalan hidup Minke, tapi juga mengubah benua dan apa saja yang dilewatinya: Modern!
Sastra
September 19, 2008
Nalar Indra dan Nalar Dunia:
“Krisis Penciptaan Sastra”
Setengah abad yang silam, Soedjatmoko, cendekiawan yang pernah disebut sebagai Dekan Intelektual Bebas Indonesia, mempertegas adanya “suatu krisis dalam kesusastraan kita”. Di dalam tulisan yang merupakan “Pengantar” untuk edisi perdana Majalah Konfrontasi, Juli-Agustus 1954, Soedjatmoko mengakui bahwa “banyak ciptaan yang memang berjasa, serta adanya kelancaran dalam bahasa yang dipakai. Akan tetapi ciptaan-ciptaan kesusastraan yang lebih besar masih saja ditunggu kehadirannya.”
Kegelisahan mengenai krisis penciptaan sastra Indonesia sesungguhnya telah mendekam lama bahkan sejak diraihnya pengakuan kedaulatan Republik Indonesia. Kegelisahan itu kemudian meledak jadi polemik sejak munculnya tulisan Soedjatmoko di majalah yang merupakan “kelanjutan” Majalah Poejangga Baru yang diasuh oleh S. Takdir Alisjahbana, Achdiat Kartamihardja, Beb Vuyk, dan Hazil Tansil. Letupan yang dijabarkan Soedjatmoko dalam “Mengapa Konfrontasi” itu adalah endapan dari pergulatan dan pergesekan pemikiran yang dihasilkan kelompok studi Konfrontasi, minimal dari empat kali pertemuan.
Ilmu dan Teknologi
September 19, 2008
Kanibalisme Negara dan Inspirasi
Menegaskan pentingnya ilmu dan teknologi bagi sebuah bangsa, kini bukan lagi sekedar tautologi. Di dekade awal abad ke-21 ini, hal itu bahkan bisa merosot jadi sejenis skandal intelektual. Mereka yang melakukan penegasan itu, beresiko jadi bahan tertawaan dunia.
Memang pernah ada situasi dimana ilmu dan teknologi tampak mengancam kemanusiaan. Magnitud ancaman itu, di mata sejumlah pakar, bisa terlihat menggiriskan. Para pengecam ilmu dan teknologi kerap menjadikan Revolusi Industri yang bermula di Inggeris dan menyebar ke seluruh dunia sebagai landas pacu untuk meluncurkan kritik-kritik tajam. Alvin Toffler dalam trilogi The Future Shock, The Third Wave dan Powershift, menyebut jenis ilmu dan teknologi semacam ini, sebagai produk khas peradaban Gelombang Kedua. Trilogi klasik Toffler, atau karya-karya awal Fritjof Capra, hanyalah sekian dari banyak literatur yang mengurai sebab industri Gelombang Kedua ini, dengan paradigma Cartesian dan Newtoniannya, harus surut dari kancah sejarah. Orang pun tak mesti mendaras ulang Karl Marx dan santri-santrinya untuk melihat betapa teknologi Gelombang Kedua ini, dengan pabrik-pabrik dan cerobong asapnya yang menjulang, telah memperkokoh dominasi kelas kapitalis atas kelas pekerja.